Welcome to my blog Auliya Alivia

Sabtu, 12 Maret 2011

Hati Ibu

Aku melangkah tergesa. Tak sabar agar segera sampai di rumah. Dalam benakku tergambar senyum mengambang di bibir Ayah. Membayangkan senyum Ayah kedua kaki jenjangku semakin gesit berloncatan.



“Aku menang lomba menulis cerpen, yah,” ucapku begitu menginjak teras sambil memamerkan piala di tanganku.



Ayah menurunkan koran yang sedang dibacanya lalu menatapku sebentar, setelah itu membaca lagi.

Melihat wajah datar Ayah senyum di bibirku surut. Bergegas aku masuk rumah, menemui ibu.



“Ibu,” panggilku.



Tidak ada jawaban.



“Ibu,” ulangku.



Masih bisu. Kucari ke kamar, tak ada, di dapur aku juga tak menemukan ibu.

Kutinggalkan dapur lalu masuk kamar. Kutaruh piala kuning keemasan itu di atas meja belajarku. Kurebahkan tubuh di kasur sambil memejamkan mata. Tapi baru beberapa menit aku rebahan sepasang telingaku mendengar suara ibu dari luar.



“Shilla mau hadiah apa?”



“Shilla minta dibelikan motor !” suara Shilla, kakakku.



“Keinginanmu nanti akan ibu sampaikan pada ayah,” sahut ibu.



“Dengan atau tanpa persetujuan ayah Shilla pokoknya harus punya motor !” Shilla ngotot.



Pelan-pelan kuseret langkah ke luar kamar.



“Ibu, dari mana?” tanyaku.



“Dari Senayan . Shilla juara satu lomba fashion di Plaza Senayan,” kata ibu dengan mata berbinar.



Aku tersenyum sambil menyalami Shilla .



“Itu apa?” tanya ibu melihat piala di tanganku.



“Via juara dua lomba menulis cerpen antar SMA,” kataku.



Ibu diam.



“Boleh di pajang di lemari depan, Bu?”



Ibu menggeleng, “Disimpan di kamar saja. Lemari depan khusus tempat piala-piala milik Shilla,” tegas ibu.



Ada rasa perih di ujung hatiku.



***



Beberapa hari setelah kejadian itu aku membawa satu tas besar pakaian untuk menginap di kost-kost an Acha, teman sekelasku. Jarak kost-kost an Acha hanya beberapa meter dari sekolah .



“Sudah bilang sama ibumu kalau kamu mau nginap di sini?” tanya Acha.



Aku menggeleng, “Ibu tidak akan kehilangan meskipun aku mati.”



“Huss , Jangan bicara seperti itu ! Ibumu pasti khawatir ”



“Ibu baru ribut kalau Shilla yang hilang.”



“Jangan terus kau pupuk cemburumu.”



“Aku tak akan cemburu andai mereka tak pilih kasih.”



“Mungkin seperti itu cara mereka menyayangi kalian.”



“Entahlah , tapi kuharap begitu ..” kataku malas.



Aku membalikkan tubuh memunggungi Acha. Diam-diam kuseka air mataku yang tak tertahankan untuk turun .



***



Seperti dugaanku ibu tak peduli meski aku tak pulang berhari-hari. Ayah pun tak risau meski anak gadisnya yang satu ini tak memberi kabar.



“Cha, aku minta izin untuk tinggal di sini satu minggu lagi ya,” kataku setelah beberapa hari berselang.



“Boleh saja sih. Tapi kasihlah kabar dulu ke orang tuamu,” sahut Acha.



“Gak perlu , Cha !” Melihat kerasnya keinginanku , Acha tak bersuara.



Aku bertekad akan pulang jika ibu menjemput dan memintaku pulang dengan penuh kelembutan. Seperti yang ibu lakukan beberapa tahun yang lalu terhadap Shilla, saat gadis itu ikut kemah bersama organisasi pramukanya di tengah hutan. Saat berhari-hari Shilla tak pulang , ibu luar biasa panik. Kemudian ibu meminta ayah menyusul Shilla. Ketika tiba di rumah Shilla disambut bagaikan seorang ratu, ditambah dengan syukuran besar-besaran yang digelar karena tak terjadi apa-apa terhadap gadis tinggi semampai itu.



Saat ingatanku menerobos ke masa lalu tiba-tiba handphoneku bergetar, nomor rumah. Aku berharap itu ibu.



“Ibu masuk rumah sakit, Non,” terdengar suara Bik Warsih, pembantu di rumahku.



“Kapan? Kenapa?” tanyaku bertubi-tubi.



“Sejak dua hari yang lalu…”



“Kenapa aku baru dihubungi sekarang?” potongku.



“Nomor non Via tidak bisa dihubungi dari kemarin.”



Aku menelan ludah pahit. Menyesal mematikan handpone selama dua hari ini. Begitu sambungan ditutup aku bergegas ke rumah sakit.



Saat tiba di ruangan ICU kulihat tubuh ibu dibalut selang infuse. Aku menangis melihat kondisi ibu.



“Ibu sakit apa?” tanyaku pada ayah yang memegangi lengan ibu.



“Dua hari yang lalu kaki ibu terpeleset saat mau ke luar kamar mandi.”



“Lalu…” kejarku tak sabar.



Ayah diam sambil menyeka matanya yang basah. Aku menunggu.



“Kepala ibu pecah, darahnya menyembur, dokter bilang ibu harus dioperasi. Tetapi sejak dioperasi ibu belum sadar sampai sekarang.”



Aku merinding mendengarnya.



***



Ini sudah memasuki pekan kedua, tapi kondisi ibu tidak ada memperlihatkan perkembangan berarti.

Kugenggam jemari ibu erat-erat. Pelan tangan itu bergerak. Aku tersentak. Kulihat bibir ibu juga bergerak. Seperti mengeluarkan suara meski tak jelas. Kudekatkan telingaku ke bibir ibu.



“Via,” ucap ibu lirih



Aku tak yakin pada pendengaranku.



Hening. Aku semakin mendekatkan telingaku, menunggu perempuan itu memanggilku. Tapi mulut itu tak lagi bersuara. Namun rasa gembira tetap menyergapku.



“Dimana Shilla dan ayahmu?” ibu bertanya tiba-tiba.



“Mereka di luar, biar…” gegas aku beranjak dari pembaringan ibu.



“Jangan!” cegah ibu.



Aku berbalik.



“Saat ini ibu ingin berdua saja denganmu.”



Aku menoleh. Menduga-duga. Kulihat wanita itu menarik nafas.



“Ibu tahu kau cemburu pada Shilla. Ibu tak pernah merayakan apapun saat kau meraih sesuatu.”



Sunyi sesaat.



“Ketahuilah, Nak. Biaya syukuran itu mahal, itulah sebabnya ibu hanya membuatnya untuk Shilla,” kata ibu dengan mata bertelaga.



Aku diam saja.



“Jika perhatian ibu lebih besar pada Shilla karena menurut ibu Shilla tak sekuat kau.”



“Ibu menyayangiku?” tanyaku dengan suara bergetar.



Ibu tak segera menjawab. Pelan wanita itu bangkit seraya memelukku, “Tak ada orang tua yang tak sayang anaknya . Apalagi seorang ibu .. ,” ucap ibu diantara isaknya.



Meski semula enggan, pelan-pelan aku membalas pelukan ibu. Beberapa saat tak ada suara. Kurasakan ibu semakin mempererat pelukannya. Lama. Namun saat aku melerai pelukan, kudapati ibu tak lagi bergerak. Tubuhnya sedingin es.



***



Hari ini tanggal 22 Desember. Ya , hari ini adalah hari ibu. Gundukan tanah di depanku masih merah. Kuelus nisan ibu. Mengingat saat-saat terakhir bersama ibu setumpuk cemburuku pada Shilla lenyap. Pelan kutengadahkan wajah menatap langit, dalam diam aku berdoa agar langit menjaga ibu dari atas,



“Selamat hari Ibu , Bu,” bisikku.





*** THE END ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar